Halaman

Rabu, 09 Mei 2012

Cerpen Persahabatan


Jelaga Hati, sahabat
OLEH: ANGGILIA JANI CRISTA
(Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unib, 2009)

Hari ini hidupku sangat bahagia, aku lulus dari tingkat SMA ku dengan nilai terbaik satu sekolah. Aku yakin bahwa orang tuaku akan bangga dengan keberhasilanku. Tapi, ah apakah mereka tau bahwa aku hari ini adalah hari yang sangat dinantikan untukku dan seluruh siswa SMA di nusantara ini ? selaku. Huffft…….. sebaiknya aku mengurungkan saja niatku, toh mereka takkan pernah mau tau. Yah begitulah aku dan kisah hidupku. Aku seorang anak tunggal dari keluarga super sibuk yang mencari harta. Orang tuaku selalu berkata kepadaku “ini semua demi kebaikanmu Sitta ! ucap mama dan ayah. Aku tak pernah tau, apa yang dipikirkan oleh mereka. Apakah mereka mengangap bahwa aku ada? Selalu saja itu yang aku pikirkan.
            Setelah pengumuman itu aku langsung pulang ke rumahku. Yah, aku segera mencari taksi untuk kunaiki. “jalan kenangan Pak” ucapku. Setidaknya aku membutuhkan waktu selama dua puluh menit untuk sampai ke rumah sunyi ini. Suntuk memang, tapi aku tak ingin ambil pusing. Hari ini aku sangat bahagia, menurutku. Ku genggam gagang pintu rumahku yang berwarna coklat, dengan bahan jati nomor satu di Indonesia, itu kata pembuat pintu ini. Aku masuk, begitu hampanya rumah ini, tak ada suara, tak ada suara sekecil apa pun. Segera saja aku mengganti pakaianku dan langsung menuju dapur.
            Aku temui mbok Mina dan Atri di dapur, tampaknya mereka sedang bercerita. Aku tidak mengerti pembicaraan mereka. Aku langsung menuju meja makan kami. Ku temui makanan kesukaanku.
“Ah, kenyang …”ucapku
Ku bolak-balik selembar kertas putih, dengan tinta hitamnya. Ku baca hampir lima kali. Begitu bahagiannya aku, Aku melihat namaku Sittafti Atmaja lulus dengan nilai terbaik di sekolahku. Rencananya aku akan melanjutkan sekolah ku di universitas favorit. Aku berharap semoga saja aku lulus tes masuk universitas, itu harapanku. Begitu lelahnya aku, sampai aku menutupkan mataku dalam mimpi dialaskan kasur empuk.
“nyaman”, kataku.
            Langsung saja aku menuliskan sebuah jurusan pilihanku, yaitu jurusan seni rupa. Orang tua ku tak pernah menyetujui jika aku mengambil jurusan ini. Itu jurusan tak penting, kata ayahku. Tetapi bagiku seni itu indah.
            Setelah hampir satu minggu aku menunggu pengumuman itu, ternyata aku lulus di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Tetapi aku lulus di jurusan Teknik Geodesi. Sedih memang, karena itu pilihan keduaku. Begitu kecewa aku, mengapa bisa begini. Namun, tidak apalah, ucapku.
            Setelah menjalani ospek, ini hari pertamaku kuliah. Aku ingat hari senin tanggal tujuh Agustus dua ribu Sembilan. Hari pertama ini tidak begitu buruk, aku mendapatkan seorang teman bernama Melia. Baik orangnya dan sopan. Aku begitu menyenanginya. Semakin hari aku dan Melia makin akrab dan bersahabat, kami sering jalan bersama, belajar, dan bahkan dia sering menginap dirumahku. Perlu diketahui bahwa Melia adalah anak ketujuh dari delapan bersaudara. Dia berasal dari keluarga sederhana dan beribadat. Melia menganut agama Kristen. Sering kulihat dia membaca Alkitab, setauku.
Aku sering bermain dan mengunjungi keluarganya. Aku merasa senang disana tidak seperti dirumahku yang begitu besar namun sunyi. Meski terasa pengap, aku begitu senang berada di rumah Melia. Mengobrol dengan saudara-saudaranya, ibunya, dan bapaknya membuatku merasakan keluarga yang sesungguhnya. Terkadang mereka sering menanyakan, mengapa aku selalu main ke sini ? yah jawabku hanyalah, aku senang bermain ke sini. Tidak mungkin aku menceritakan kesedihan hatiku pada keluarga mereka.
Dua semester sudah aku melewati kuliah dan sahabatku tetap Melia. “ Tapi, hari ini dimana melia mengapa dia tak Nampak. Apakah dia sakit ?” pikirku. Aku sudah mengangap dia seperti kakakku karena dia sangat dewasa dan bijak, berbeda dengan sifatku yang kekanak-kanakkan. Pikirku sehabis mata kuliah ini, aku langsung menuju ke rumah Melia. Ramai kelihatannya, tapi aku tetap masuk dan bertanya kepada sekiatar orang di sana.
“mengapa ramai, ada apa?”tanyaku pada seorang bapak-bapak tua .
“ayahnya meninggal” ucap bapak itu.
Kuliahat Melia dan keluarganya menangis, belakangan ini ku ketahui bahwa ayahnya melia mengidap penyakit diabetes dan gagal ginjal. Beliau telah mengidap penyakit tersebut selama tiga tahun belakangan ini. Aku begitu terharu dan merasa kasihan karena tidak ada lagi ayah yang akan selalu mendampingi keluarganya dan mencari penghasilan. “miris” kataku.
Kepalaku terasa berat untuk diangkat ketika aku bangun, kulihat sinar matahari telah berkilauan menerangi ruangan kamarku yang berwarna biru ini, di sudut jendela terdapat sebuah televisi 29 inch, dilengkapi sebuah komputer, AC, DVD, dan boneka lumba-lumba sepanjang 1 meter, dan kelihatan sangat besar menyempit dalam kamarku. Langkahku semakin berat, tetapi aku harus cepat Karena ada kuliah pagi ini. Aku merasa kecukupanku sangat sempurna, semuanya telah tersedia dan tidak perlu susah-susah lagi untuk mendapatkan keinginanku. Itulah hidupku. Kataku.
Teman-temanku bilang bahwa aku adalah makhluk sempurna dan beruntung. Diberi anugerah wajah yang cantik, anak tunggal, harta melimpah, pintar dan menarik hati. Belakangan ini aku belum pernah berpacaran karena aku ingin fokus terhadap kuliahku. Hari ini pun tak kutemui Melia sahabatku. Ku pikir Melia masih sedih dan terpukul dengan kepergian ayahnya. Hari demi hari kulalui tanpa sahabatku itu. Tanpa kabar. Kabar burung pun tak ada.
“Hufft”…eluhku.
“aku begitu rindu pada sahabatku, setelah seminggu tak bertemu”
Kuketuk pintu rumah sederhana ini, sepi dan sunyi tak seperti biasanya. Keluar seorang wanita tua dengan rambut panjang dan berwarna putih. Ku sebut saja itu adalah ibu Melia.
“Melianya ad bu?” ucapku.
Hiks….hiks….hiks….
“mengapa menangis bu ?” tanyaku penuh penasaran
“dia telah menyusul ayahnya dua hari yang lalu”ucap ibu itu.
Saat itu aku merasa sangat pusing dan gelap. Ku ingat terakhir aku datang ke rumah sederhana itu dan ku tahu bahwa sahabatku telah tiada menyusul ayahnya. Terasa sangat berat mataku untuk membuka, kulihat sekitarku yang begitu aku kenal, yakni kamarku.
Aku menangis ketika aku menyadari bahwa sahabatku telah tiada. Aku tahu bahwa Melia selama ini mengidap kanker hati. Mungkin kamu tahu bahwa begitu berharganya sahabat itu. Mungkin kamu harus paham bahwa sahabat itu salah satu harta kekayaan kita..
Aku selalu mendoakan kamu…. Melia Isn’t real….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar