Jelaga Hati, sahabat
OLEH: ANGGILIA JANI CRISTA
(Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia FKIP Unib, 2009)
Hari
ini hidupku sangat bahagia, aku lulus dari tingkat SMA ku dengan nilai terbaik
satu sekolah. Aku yakin bahwa orang tuaku akan bangga dengan keberhasilanku.
Tapi, ah apakah mereka tau bahwa aku hari ini adalah hari yang sangat
dinantikan untukku dan seluruh siswa SMA di nusantara ini ? selaku. Huffft……..
sebaiknya aku mengurungkan saja niatku, toh mereka takkan pernah mau tau. Yah
begitulah aku dan kisah hidupku. Aku seorang anak tunggal dari keluarga super
sibuk yang mencari harta. Orang tuaku selalu berkata kepadaku “ini semua demi
kebaikanmu Sitta ! ucap mama dan ayah. Aku tak pernah tau, apa yang dipikirkan
oleh mereka. Apakah mereka mengangap bahwa aku ada? Selalu saja itu yang aku
pikirkan.
Setelah pengumuman itu aku langsung
pulang ke rumahku. Yah, aku segera mencari taksi untuk kunaiki. “jalan kenangan
Pak” ucapku. Setidaknya aku membutuhkan waktu selama dua puluh menit untuk sampai
ke rumah sunyi ini. Suntuk memang, tapi aku tak ingin ambil pusing. Hari ini
aku sangat bahagia, menurutku. Ku genggam gagang pintu rumahku yang berwarna
coklat, dengan bahan jati nomor satu di Indonesia, itu kata pembuat pintu ini. Aku
masuk, begitu hampanya rumah ini, tak ada suara, tak ada suara sekecil apa pun.
Segera saja aku mengganti pakaianku dan langsung menuju dapur.
Aku temui mbok Mina dan Atri di
dapur, tampaknya mereka sedang bercerita. Aku tidak mengerti pembicaraan
mereka. Aku langsung menuju meja makan kami. Ku temui makanan kesukaanku.
“Ah,
kenyang …”ucapku
Ku
bolak-balik selembar kertas putih, dengan tinta hitamnya. Ku baca hampir lima
kali. Begitu bahagiannya aku, Aku melihat namaku Sittafti Atmaja lulus dengan
nilai terbaik di sekolahku. Rencananya aku akan melanjutkan sekolah ku di
universitas favorit. Aku berharap semoga saja aku lulus tes masuk universitas,
itu harapanku. Begitu lelahnya aku, sampai aku menutupkan mataku dalam mimpi
dialaskan kasur empuk.
“nyaman”,
kataku.
Langsung saja aku menuliskan sebuah
jurusan pilihanku, yaitu jurusan seni rupa. Orang tua ku tak pernah menyetujui
jika aku mengambil jurusan ini. Itu jurusan tak penting, kata ayahku. Tetapi
bagiku seni itu indah.
Setelah hampir satu minggu aku
menunggu pengumuman itu, ternyata aku lulus di Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta. Tetapi aku lulus di jurusan Teknik Geodesi. Sedih memang, karena
itu pilihan keduaku. Begitu kecewa aku, mengapa bisa begini. Namun, tidak
apalah, ucapku.
Setelah menjalani ospek, ini hari
pertamaku kuliah. Aku ingat hari senin tanggal tujuh Agustus dua ribu Sembilan.
Hari pertama ini tidak begitu buruk, aku mendapatkan seorang teman bernama
Melia. Baik orangnya dan sopan. Aku begitu menyenanginya. Semakin hari aku dan
Melia makin akrab dan bersahabat, kami sering jalan bersama, belajar, dan
bahkan dia sering menginap dirumahku. Perlu diketahui bahwa Melia adalah anak
ketujuh dari delapan bersaudara. Dia berasal dari keluarga sederhana dan
beribadat. Melia menganut agama Kristen. Sering kulihat dia membaca Alkitab,
setauku.
Aku
sering bermain dan mengunjungi keluarganya. Aku merasa senang disana tidak
seperti dirumahku yang begitu besar namun sunyi. Meski terasa pengap, aku
begitu senang berada di rumah Melia. Mengobrol dengan saudara-saudaranya,
ibunya, dan bapaknya membuatku merasakan keluarga yang sesungguhnya. Terkadang
mereka sering menanyakan, mengapa aku selalu main ke sini ? yah jawabku
hanyalah, aku senang bermain ke sini. Tidak mungkin aku menceritakan kesedihan
hatiku pada keluarga mereka.
Dua
semester sudah aku melewati kuliah dan sahabatku tetap Melia. “ Tapi, hari ini
dimana melia mengapa dia tak Nampak. Apakah dia sakit ?” pikirku. Aku sudah
mengangap dia seperti kakakku karena dia sangat dewasa dan bijak, berbeda
dengan sifatku yang kekanak-kanakkan. Pikirku sehabis mata kuliah ini, aku
langsung menuju ke rumah Melia. Ramai kelihatannya, tapi aku tetap masuk dan
bertanya kepada sekiatar orang di sana.
“mengapa
ramai, ada apa?”tanyaku pada seorang bapak-bapak tua .
“ayahnya
meninggal” ucap bapak itu.
Kuliahat
Melia dan keluarganya menangis, belakangan ini ku ketahui bahwa ayahnya melia
mengidap penyakit diabetes dan gagal ginjal. Beliau telah mengidap penyakit
tersebut selama tiga tahun belakangan ini. Aku begitu terharu dan merasa
kasihan karena tidak ada lagi ayah yang akan selalu mendampingi keluarganya dan
mencari penghasilan. “miris” kataku.
Kepalaku
terasa berat untuk diangkat ketika aku bangun, kulihat sinar matahari telah
berkilauan menerangi ruangan kamarku yang berwarna biru ini, di sudut jendela
terdapat sebuah televisi 29 inch, dilengkapi sebuah komputer, AC, DVD, dan
boneka lumba-lumba sepanjang 1 meter, dan kelihatan sangat besar menyempit
dalam kamarku. Langkahku semakin berat, tetapi aku harus cepat Karena ada kuliah
pagi ini. Aku merasa kecukupanku sangat sempurna, semuanya telah tersedia dan
tidak perlu susah-susah lagi untuk mendapatkan keinginanku. Itulah hidupku.
Kataku.
Teman-temanku
bilang bahwa aku adalah makhluk sempurna dan beruntung. Diberi anugerah wajah
yang cantik, anak tunggal, harta melimpah, pintar dan menarik hati. Belakangan
ini aku belum pernah berpacaran karena aku ingin fokus terhadap kuliahku. Hari
ini pun tak kutemui Melia sahabatku. Ku pikir Melia masih sedih dan terpukul
dengan kepergian ayahnya. Hari demi hari kulalui tanpa sahabatku itu. Tanpa
kabar. Kabar burung pun tak ada.
“Hufft”…eluhku.
“aku
begitu rindu pada sahabatku, setelah seminggu tak bertemu”
Kuketuk
pintu rumah sederhana ini, sepi dan sunyi tak seperti biasanya. Keluar seorang
wanita tua dengan rambut panjang dan berwarna putih. Ku sebut saja itu adalah
ibu Melia.
“Melianya
ad bu?” ucapku.
Hiks….hiks….hiks….
“mengapa
menangis bu ?” tanyaku penuh penasaran
“dia
telah menyusul ayahnya dua hari yang lalu”ucap ibu itu.
Saat
itu aku merasa sangat pusing dan gelap. Ku ingat terakhir aku datang ke rumah
sederhana itu dan ku tahu bahwa sahabatku telah tiada menyusul ayahnya. Terasa
sangat berat mataku untuk membuka, kulihat sekitarku yang begitu aku kenal,
yakni kamarku.
Aku
menangis ketika aku menyadari bahwa sahabatku telah tiada. Aku tahu bahwa Melia
selama ini mengidap kanker hati. Mungkin kamu tahu bahwa begitu berharganya
sahabat itu. Mungkin kamu harus paham bahwa sahabat itu salah satu harta
kekayaan kita..
Aku
selalu mendoakan kamu…. Melia Isn’t real….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar